Minggu, 26 April 2015

Sistem Tanam Paksa

    Berdasarkan Konvensi London tahun 1814, pemerintah Belanda berkuasa kembali atas wilayah Indonesia meskipun kondisi ekonomi negara Belanda masih sangat lemah karena kas keuangannya dalam keadaan kosong. Lemahnya perekonomian pemerintah Belanda pada saat itu disebabkan oleh banyaknya utang negara Belanda terhadap luar negeri dan besarnya pengeluaran biaya perang di Eropa maupun di beberapa daerah Indonesia.

Berbagai upaya pun telah dilakukan pemerintah Belanda untuk menutup kekosongan kas keuangan negara, satu di antaranya adalah dengan menerapkan aturan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Indonesia. Istilah tanam paksa berasal dari Bahasa Belanda, yaitu Cultuurstelsel (sistem penanaman atau aturan tanam paksa). Pencetus ide tanam paksa dan sekaligus pelaksana aturan tanam paksa di Indonesia adalah Johannes Van Den Bosch yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Isi Aturan Tanam Paksa

Adapun isi aturan tanam paksa adalah sebagai berikut:

1). Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
2). Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultturstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
3). Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perusahaan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
4). Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan.
5). Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat.
6). Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan ditanggung oleh pemerintah Belanda.
7). Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa.

Pelaksanaan Aturan Tanam Paksa

Pelaksanaan aturan tanam paksa sudah dimulai pada tahun 1830 dan mencapai puncak perkembangannya hingga tahun 1850, yaitu ditandai dengan hasil tanam paksa mampu mencapai jumlah tertinggi. Dengan demikian, keuntungan tinggi dapat diperoleh pemerintah Belanda dari pelaksanaan aturan tanam paksa.

Tekanan-tekanan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia dalam upaya mencari keuntungan dari pelaksanaan aturan tanam paksa tersebut mulai menurun akibat adanya berbagai kritikan tajam terhadap pemerintah Belanda yang dipandang sangat keji dan tidak berperikemanusiaan.

Pada tahun 1860, sistem tanam paksa yang diberlakukan untuk menanam lada dihapuskan dan pada tahun 1865 menyusul dihapuskan untuk menanam nila dan teh. Berlanjut hingga tahun 1870, hampir semua jenis tanaman yang ditanam untuk tanam paksa dihapuskan, kecuali tanaman kopi. Akhirnya, pada tahun 1917, tanaman kopi yang diwajibkan untuk ditanam bagi rakyat di daerah Priangan juga dihapuskan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar