A. Perlunya Kebijakan Pembangunan Wilayah
Kebijakan Pembangunan merupakan keputusan
publik yang di perlukan di tingkat nasional maupun wilayah sehingga dapat di
wujudkan suatu kondisi sosial yang diharapkan akan dapat mendorong proses
pembangunan ke arah yang di inginkan masyarakat, baik pada saat sekarang maupun
untuk periode tertentu di masa yang akan datang. Sasaran Akhir dari kebijakan
pembangunan tersebut adalah untuk dapat mendorong dan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan sosial secara menyeluruh sesuai dengan keinginan dan
aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
Kebijakan pada tingkat wilayah diperlukan
karena kondisi permasalahan dan potensi pembangunan yang dimiliki suatu wilayah
umumnya berbeda satu sama lainnya sehingga kebijakan yang diperlukan tidak
sama. Misalnya wilayah pantai yang masyarakatnya umumnya para nelayan akan
memerlukan kebijakan pembangunan yang berbeda dengan masyarakat daerah dataran
tinggi yang banyak begerak dalam usaha perkebunan, ataupun daerah perkotaan yang
banyak bergerak pada sektor perdagangan jasa dan industri yang berbeda dengan
daerah kabupaten yang didominasi oleh sektor pertanian.
Kebijakan pada tingkat nasional yang
diberlakukan secara umum pada seluruh wilayah tidak akan sesuai untuk
memecahkan masalah pembangunan pada masing-masing daerah karena setiap daerah
memiliki kondisi daerah tersebut mempengaruhi kondisi pembangunan. Oleh karena
itu untuk memaksimalkan proses pembangunan daerah, maka kebijakan pembangunan
wilayah yang saling terkait perlu di tetapkan untuk masing-masing daerah agar
terdapat sinergi dalam proses pembangunan wilayah.
Urgensi dan peranan kebijakan pembangunan
wilayah berbeda pola pembangunan negara bersangkutan bersifat sentralisasi dan
otonomi (desentralisasi). Pada saat pola pemerintahan dan pembangunan suatu
negara bersifat sentralisasi, kebijakan pembangunan regional tidak terlalu
menentukan dan hanya merupakan penunjang (sub-set) dari kebijakan pembangunan
nasional sehingga aspirasi pembangunan yang berkembang di masing-masing wilayah
hanya dapat di terima dan di benarkan sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional. Permasalahan kemudian muncul bilamana kondisi dan potensi
daerah pada negara bersangkutan sangat bervariasi, sehingga kebijakan yang
cenderung seragam tidak dapat memecahkan permasalahan daerah secara menyeluruh
Sedangkan bila bersifat desentralisasi, maka
urgensi dan peranan kebijakan pembangunan wilayah menjadi lebih besar dan
penting sehingga masing-masing daerah akan dapat menetapkan kebijakan pembangunan
berbeda sesuai dengan kondisi permasalahan dan potensi daerah yang
bersangkutan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan nasional lebi banyak
berfungsi sebagai untukmemberikan arah pembangunan secara menyeluruh (makro)
sedangkan kebijakan pembangunan wilayah (regional) akan berfungsi untuk
mendorong proses pembangunanpada daerah bersangkutan sesuai dengan kondisi,
permasalahan dan potensi.
B. Sasaran Kebijakan Wilayah
Menurut pandangan Winnick (1966) dan
kemudiandi lanjutkan oleh Richargson (1978) terdapat dua alternatif sasaran
kebijakan wilayah yaitu:
- Kemakmuran
Wilayah
Bertujuan untuk mewujudkan kondisi fisik
daerah yang maju meliputi prasarana dan sarana, perumahan dan lingkungan
pemukiman, kegiatan ekonomi masyarakat, fasilitas pelayanan sosial di bidang
pendidikan dan kesehatan, kualitas lingkungan hidup dan lain-lainnya. Hal
tersebut akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi daerah akan meningkat cepat,
kegiatan penanaman modal meningkat pesat, dan mendorong peningkatan migrasi
masuk dari daerah lain seiring bertambahnya lapangan kerja.
Namun demikian, kemajuan ini biasanya akan di
nikmati oleh para pendatang yang kualitas sumber daya manusianya lebih baik
dari penduduk setempat. Akibatnya akan terjadi ketimpangan distribus pendapatan
yang cukup tinggi antara para pendatang dan dan penduduk setempat.
2. Kemakmuran Masyarakat
Bilamana kemakmuran masyarakat merupakan
sasaran utama pembangunan daerah,maka tekanan utama pembangunan akan lebih
banyak diarahkan pada pembangunan penduduk setempat. Program dan kegiatan lebih
banyak di arahkan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
meningkatkan kegiatan produksi masyarakat.
Bila upaya pembangunan wilayah lebih banyak di
arahkan pada peningkatan kemakmuran masyarakat, maka laju pertumbuhan ekonomi
dan peningkatan penyediaan lapangan kerja pada daerah bersangkutan cenderung
bertumbuh lambat di bandingkan peningkatan kemakmuran wilayah. Hal ini di
sebabkan, upaya pembangunan diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya
manusia dan pemberdayaan masyarakat yang biasanya memerlukan waktu yang lebih
lama.
C. Penetepan Wilayah Pembangunan
Penetapan Wilayah pembangunan ini perlu di
lakukan agar pemberlakuan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut dapat
ditentukan dengan jelas dan tegas dimana cakupan wilayahnya. Penetapan wilayah
pembangunan dapat dilakukan dengan memperhatikan empat aspek utama yaitu :
- Kesamaan
Kondisi, permasalahan dan potensi umum daerah baik di bidang ekonomi,
sosial , dan geografi. Bila aspek ini di jadikan sebagai pertimbangan
utama dalam pembentukan wilayah.
- Keterkaitan
yang erat antara daerah-daerah yang tergabung dalam wilayah pembangunan
bersangkutan. Keterkaitam ini dapat diketahui melalui data tentang
kegiatan dagang antar daerah dan mobilitas penduduk (migration) antar
daerah. Bila aspek ini dijadikan sebagai dasar utama pembentukan wilayah
pembangunan tersebut, maka wilayah in dinamakan nodal region. Aspek
ketrkaitan ini sangat penting artinya untuk kebijakan pembangunan wilayah
yang ditetrapkan dapat mendorong terjadinya keterpaduan dan sinergi
pembangunan antar daerah dalam wilayah yang bersangkutan.
- Kesamaan
karakteristik geografis antar daerah yang tergabung dalam wilayah
pembangunan tersebut. Karateristik geografis tersebut meliputi jenis
daerah (pantai, pegunungan atau daerah aliran sungai), kesuburan dan
kesesuaian lahan, dan potensi sumberdaya alam. Bila aspek ini dijadikan
sebagai sumber aspek utama penetapan wilayah pembangunan maka wilayah
tersebut dapat dinamakan sebagai wilayah fungsional. Aspek ini sangat
penting dalam penetuan wilayah pembangunan.
- Kesatuan
wilayah administrasi pemerintahan antara propinsi, kabupaten dan kota yang
tergabung dalam wilayah pembangunan bersangkutan. Bila pertimbngan
merupakan unsur utama yang melandasi pembentukan wilayah pembangunan
tersebut, mka wilayah ini dinamakan sebagai wilayah perencanaan (planniang
region).
D. Bentuk Kebijakan Pembangunan
Wilayah
- Kebijakan
Fiskal Wilayah
Wilayah Kebijakan fiskal pada tingkat wilayah
(region fiscal policy) dapat dilakukan dalam bidang pengaturan dan pengendalian
penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah. Alasanya adalah jelas karena
penerimaan dan belanja daerah akan langsung mempengaruhi kinerja pembangunan
daerah tersebut. Pendapatan daerah dapat berbentuk PAD yang diperoleh dari
pajak dan retribusi daerah berikut hasil bersih perusaan daerah, serta alokasi
dana perimbangan dari pemerintah pusat. Sedangkan belanja daerah dapat
berbentuk biaya aparatur, belanja publik dan belanja modal sebagaimana terlihat
dalam anggaran APBD daerah bersangkutan.
Termasuk juga dalam belanja daerah ini adalah
penggunaan dana dekonsentrasi dan dana pembantuan yang dialokasikan oleh
pemerintah pusat kemasing-masing daerah melalui dinas dan instansi vertikal
didaerah. Kebijakan fiskal wilayah menyangkut dengan pengeluaran yang dapat
dilakukan dalam rangka mendorong proses pembangunan daerah dalam bentuk
peningkatan proporsi dana APBD yang dialokasikan untuk belanja publik dan
belanja modal. Kebijakan wilayah fiskal menyangkut dengan aspek belanja yang
dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dalam bentuk peningkatan
keterkaitan antara perencanaan dan anggaran. Dengan cara demikian pengalokasian
dana dan dan belanja pembangunan akan dapat disesuaikan dengan prioritas yang
telah ditetapkan dalam rencana pembangunan daerah. Kebijakan wilayah fiskal
juga dapat dilakukan melalui kebijakan nasional dengan menggunakan dana alokasi
khusus. Peranan ini dapat dilakukan melaui penentuan arah dan prioritasnya
penggunakan DAK tersebut sesuai dengan kepentingan nasional. Biasanya prioritas
penggunaan DAK diberikan pada kegiaan-kegiatan penanggulangan kemiskinan,
pembangunan prasarana jalan yang tidak mampu dibiayai oleh APBD dan peningkatan
kualitas hidup. Disamping itu, alokasi DAK juga diprioritaskan untuk
peningkatan proses pembangunan pada daerah sedang berkembang dalam rangka
mengurangi ketimpangan pembangunan.
2. Kebijakan Moneter Wilayah
Kebijakan moneter ini lebih terbatas dari pada
kebijakan fiskal. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya bersifat makro
sehingga sulit untuk dibatasi pelaksanaannya pada wilayah tertentu. Namun
demikian, masih terdapat beberapa kemungkinan pelaksanaanya kebijakan moneter
wilayah untuk aspek tertentu, misalnya menyangkut dengan kebijakan pemberian
kredit perbankan yang dibedakan untuk daerah-daerah yang sudah maju (developed
regions) dengan daerah yang sedang berkembang (developing regions) Kebijakan
pemberian kredit perbankan untuk daerah sedang berkembang dapat diberikan dalam
bentuk prosedur dan jaminan yang lebih sederhana sehingga para pengusaha di
daerah tesebut dapat memanfaatkan fasilitas kredit tersebut. Begitu juga
keringanan modal ventura juga dapat juga digulirkan untuk menarik minat
investor. Namun demikian kantor bank indonesia daerah setempat perlu selalu
mengawasi agar fasilitas perbankan tersebut secara benar-benar digunakan dengan
benar. Kebijakan moneter wilayah lainnya yang juga dapat dilakukan dalam bentuk
pengembangan lembaga-lembaga non bank sebagai alternatif untuk penyediaan
pembiayaan bagi pengembangan usaha ekonomi masyarakat.
E. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan
Wilayah
Evaluasi pelaksanaan perlu dilakukan untuk
dapat mengetahui seberapa jauh kebijakan yang telah dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dapat memberikan dampak positif sesuai dengan tujuan yang
telah tetapkan semula. Disanping itu, melalui evaluasi ini dapat diketahui
faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan maupun kegagalan pelaksanaan
kebijakan regional tersebut. Sehingga dapat dirumuskan kebijakan tertentu yang
perlu dilakukan dimasa mendatang. Evaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut dapat
dilakukan secara komprehensif maupun secara parsial.
- Evaluasi
Komprehensif
Evaluasi komprehensif paling sederhana yang
dapat dilakukan dalam melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan pembangunan
regional adalah dengan jalan membandingkan kondisi pembangunan sesudah
kebijakan dilakukan dengan sebelumnya. Dengan cara demikian, tentunya kebijakan
itu dapat dikatakan berhasil bila kinerja pembangunan dalam wilayah cakupan
setelah kebijakan ditetapkan ternyata lebih baik dibandingkan dengan kondisi
sebelum kebijakan diambil dengan asumsi tidak terjadi perubahan yang luar biasa
dalam periode pelaksanaan kebijakan. Bilamana kebijakan tersebut merupakan
bagian dari suatu perencanaan pembangunan regional, maka evaluasi keberhasilan
pelaksaan kebijakan dapat dilakukan dengan dengan membandingkan realisasi
kenerja pembangunan setelah kebijakan diterapkan dengan target pembangunan yang
ditetapkan dalam rencana.
Namun demikian, cara penilaian keberhasilan
pelaksanaa kebijakan pembangunan regional sebagaimana telah diuraikan diatas
mempunyai kelemahan karena sistem tersebut tidak dapat memisahkan dampak yang
juga dihasilkan oleh kebijakan yang bersifat nasional. Sebagaimana diketahui
bahwa kemajuan pembangunan pada suatu daerah tidak hanya disebabkan oleh
kebijakan pembagunan yang dilakukan oleh daerah bersangkutan saja, tetapi juga
terjadi karena kebijakan pembangunan yang bersifat nasional dilakukan oleh
pemerintah pusat. Karena itu untuk dapat mengevaluasi pengaruh kebijaksanaan
pembangunan wilayah secara lebih baik, maka dampak pembangunan daerah sebagai
hasil kebijakan nasional seharusnya dikeluarkan sehingga perhitungan menjadi
lebih baik. Untuk keperluan tersebut maka, metode evaluasi dapat dilakukan
adalah sebagai berikut.
Langkah pertama perlu diketahui lebih dahulu
adalah menghitung besarnya dampak pembangunan ekonomi atau tambahan penyediaan
lapanghan kerja yang dapat dicapai sebagai hasil kebijakan nasional tanpa
adanya kebijakan regional sebagai berikut:
n n Ni = Σ ni = Σ [eit (Eit/Eio)] i=1 i=1
dimana eit adalahjumlah tenaga kerja atau
nilai tambah (PDRB) region i pada periode waktu t dan Eit jumlah tenaga kerja
atau nilai tambah tingkat nasional pada periode waktu t dan Eio adalah nilai
tambah tingkat nasional pada tahun dasar. Dengan demikian, besarnya dampak dari
kebijakan nasional terhadap pembangunan daerah akan dapat diketahui dengan
jalan mengalihkan jumlah tenaga kerja atau PDRB daerah bersangkutan dengan
peningkatan penyediaan lapangan kerja dan PDB pada tingkat nasional.
Langkah berikutnya yang perlu dilakukan
adalah menghitung besarnya dampak yang dihasilkan oleh kebijakan regional
sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan mencari selisih antar jumlah
penyediaan lapangan kerja atau PDRB daerah bersangkutan pada periode tertentu
dengan besarnya pengaruh dari kebijakn nasional sebagaimana ditunjukan oleh
persamaan diatas. Dengan demikian, besarnya pengaruh dari kebijakan regional
akan dapt diketahui melalui persamaan berikut :
n n R= A-N = Σei – Σ ni i=1 i=1
Agar perhitungan menjadi lebih tepat, maka hal
yang perlu ditentukan secara khusus disini adalh periode berlaku dan berakhirnya
kebijakan nasional tersebut. Penilaian keberhasilan pelaksaan kebijakan
pembangunan regional dapt pula dilakukan melaui mobilitas investasi yang masuk
ke daerah bersangkutan. Hal ini dilakukan karena keberhasilan kebijakn
pembangunan suatu daerah tersebut dapt pula ditunjukan oleh keberhasilan dalam
menarik industri dan kegiatan ekonomi lannya dari luar daerah maupun luar
negeri untuk masuk kesuatu daerah. Bila jumlah investasi yang masuk besarmaka
unsur-unsur pembangunan daerah separti pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan
kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat akan dapt pula ditingkatkan.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka mobiltas industri dan kegiatan ekonomi
daerah dapat diukur dalam bentuk arus investasi sehingga dapat ditulis sebagai
berikut :
M= f (I)
Dimana M adalah mobilitas industri sedang I
investasi dalam RP atau dolar. Bila unsur kebijakan pembangunan daerah (Rp)
juga ikut dipertimbngkan maka fungsi mobolitas terdahulu akan dapat pula dapat
ditulis :
I= f (A,RP)
Dimana A melambangkan data tarik daerah dan RP
adalh kebijakan pembangunan regional yang dilakukan pada daerah tersebut. Bila
pengukuran dilakukan metode regresi maka persamaan diatas dapat dirubah
menjadi:
I =σ+ßA +δ (RP)+ε
Dimana σ, ß dan δ adalah koefisien regresi dan
ε adalah faktor kesalahan (distrubance terms). Menginagat RP adalah fariabel
kebijakan regional yang juga dapat diwakili oleh jumlah anggaran daerah yang
dialokasikan untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, maka keberhasilan kebijakan
pembangunan regional dapat diukur dari besarnya koefesien regresi δ yang
seharusnya mempunyai nilai positif.
2. Evaluasi Parsial
Evaluasi pelaksanaan kebijakan wilayah secara parsial dilakukan dengan melihat
keberhasilan pelaksanaan pembangunan pada tingkat program atau proyek
(kegiatan). Evaluasi ini dikatakan parsial karena hanya melihat kepada sebagian
dari kegiatan pembangunan daerah yang belum tenttu menggambarkan kondisi
pembangunan daerah secara keseluruhan. Karena itu, untuk mendapatkangambaran menyeluruh
dari keberhasilan pelaksanaan kebijakan pembangunan regional perlu dilakukan
penilaian terhadap sejumlah program dan proyek utama yang berskala besar dan
memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pembangunan daerah
bersangkutan.
Karena penilaian dilakukan pada tingkat program dan proyek, maka dalam hal ini
terdapat tigajenis teknik evaluasi yang digunakan, yaitu:
a. Teknik Evaluasi
Kinerja
Teknik ini menilai pelaksanaan program dan
kegiatan pembangunan berdasarkan lima kriteria, yaitu masukan (input), keluaran
(output), hasil (outcome),manfaat (benefit) dan dampak (impacts). Penilaian
terhadap unsur masukan (input) terutama diarahakan pada tingkat penggunaan dan
penyerapan dana yang telah dapat dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan program
dan kegiatan bersangkutan. Sedangkan penilaianterhadap keluaran (output)
diarahakan pada hasil langsung dari kegiatan pelaksanaan program dan proyek,
baik bersifat fisik maupunnonfisik. Penilaian terhadap hasil (outcome)
ditekankan pada hasil yang dapat diberikan terhadap pelaksanaan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat. Sedangkan penilaian terhadap manfaat (benefit) adalah
dalam bentuk kegunaan dari adanya program dan kegiatan pembangunan. Penilaian
terhadap dampak (impacts) adalah dalam bentuk pengaruh yang dapat dihasilkan
dgn adanya program dan kegiatan tersebut terhadap pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat
b. Analisis Biaya dan Manfaat
Analisis biaya dan manfaat yang digunakan pada
dasarnya adalah sama dengan yang lazim dipakai pada penilaian kelayakan.
Perbedaannya adalah bahwa bahwa pada evaluasi ini, data tentang biaya dan
manfaat yang digunakan adalah data realisasi karena program dan proyek sudah
selesai digunakan sebelumnya. Dengan demikian, pelaksanaan sebuah program atau
proyek dapat dikatakan berhasil bilamana kegiatan tersebut dapat menghasilkan
manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.
Seandainya adalah nilai investasi proyek
yang dilakukan pada tahu t, adalah biaya operasiaonal yang dikeluarkan
dalam pengelolaan proyek untuk setiap tahunnya dan Bt adalah manffast yang
dapat dihasilkan dari pelaksanaan proyek, maka evaluasi keberhasilan pelaksanaan
suat kebijakan pembangunan regional dapat dilakukan menggunakan kriteria
berikut:
- Benefit-Cost
Ratio: [] : [)/(1+i], dan kebijakan dikatakan berhasil jika
B/C rasio lebih besar atau sama dengan 1
- Net
present Value (NPV): ] dan kebijakan dikatan berhasil jika NPV>0
- Internal
rate of return (IRR) yaitu r pada saat NPV sama 0 dan kebijakan dikatakan
berhasil jika IRR>I, dimana I adalah tingkat bunga deposito bank.
Dimana B adalah manfaat (benefit), C adalah
biaya (cost) i tingkat bunga (discount rate), IRR ( intenal rate of return) dan
t adalah waktu.
Kendala yang sering dihadapi adalahseringkali
program dan proyek yang berorientasi pada kepentingan publik seperti
pembangunan jalan, gedung sekolah, dan fasilitas publik lainnya adalah bahwa
perhitungan nilai manfaat yang dapat di peroleh sering sering kali bersifat
kualitatif dan abstrak karena menyangkut dengan kepentingan sosial ekonomi.
Untuk itu, metode evaluasi dapat di ubah menjadi Cost Effectiveness dimana
evaluasi tidak lagi didasarkan pada perbandingan biaya dan manfaat, tetapi
hanya pada perbandingan jumlah biaya yang diperlukan.
c. Kerangka Logis
Pada kerangka logis ini, evaluasi dilakukan
secara sederhana dengan menggunakan sebuah matrik. Pada matrik ini dijelaskan
latar belakang pelaksanaan kegiatan, tujuan, deskriptsi program dan kegiatan,
tolak ukur keberhasilan yang digunakan dan manfaat yang diharapkan dari
hasil pelaksanaan program dan kegiatan tersebut. Dapat pula menggunakan
Persentase atau hanya secara kualitatif saja dengan memperhatikan kondisi yang
berkembang di lapangan jika indikator dan ukuran kuantitatif sulit di peroleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar