Minggu, 26 April 2015

pembangunan ekonomi regional

A. Perlunya Kebijakan Pembangunan Wilayah

Kebijakan Pembangunan merupakan keputusan publik yang di perlukan di tingkat nasional maupun wilayah sehingga dapat di wujudkan suatu kondisi sosial yang diharapkan akan dapat mendorong proses pembangunan ke arah yang di inginkan masyarakat, baik pada saat sekarang maupun untuk periode tertentu di masa yang akan datang. Sasaran Akhir dari kebijakan pembangunan tersebut adalah untuk dapat mendorong dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial secara menyeluruh sesuai dengan keinginan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
Kebijakan pada tingkat wilayah diperlukan karena kondisi permasalahan dan potensi pembangunan yang dimiliki suatu wilayah umumnya berbeda satu sama lainnya sehingga kebijakan yang diperlukan tidak sama. Misalnya wilayah pantai yang masyarakatnya umumnya para nelayan akan memerlukan kebijakan pembangunan yang berbeda dengan masyarakat daerah dataran tinggi yang banyak begerak dalam usaha perkebunan, ataupun daerah perkotaan yang banyak bergerak pada sektor perdagangan jasa dan industri yang berbeda dengan daerah kabupaten yang didominasi oleh sektor pertanian.
Kebijakan pada tingkat nasional yang diberlakukan secara umum pada seluruh wilayah tidak akan sesuai untuk memecahkan masalah pembangunan pada masing-masing daerah karena setiap daerah memiliki kondisi daerah tersebut mempengaruhi kondisi pembangunan. Oleh karena itu untuk memaksimalkan proses pembangunan daerah, maka kebijakan pembangunan wilayah yang saling terkait perlu di tetapkan untuk masing-masing daerah agar terdapat sinergi dalam proses pembangunan wilayah.
Urgensi dan peranan kebijakan pembangunan wilayah berbeda pola pembangunan negara bersangkutan bersifat sentralisasi dan otonomi (desentralisasi). Pada saat pola pemerintahan dan pembangunan suatu negara bersifat sentralisasi, kebijakan pembangunan regional tidak terlalu menentukan dan hanya merupakan penunjang (sub-set) dari kebijakan pembangunan nasional sehingga aspirasi pembangunan yang berkembang di masing-masing wilayah hanya dapat di terima dan di benarkan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Permasalahan kemudian muncul bilamana kondisi dan potensi daerah pada negara bersangkutan sangat bervariasi, sehingga kebijakan yang cenderung seragam tidak dapat memecahkan permasalahan daerah secara menyeluruh
Sedangkan bila bersifat desentralisasi, maka urgensi dan peranan kebijakan pembangunan wilayah menjadi lebih besar dan penting sehingga masing-masing daerah akan dapat menetapkan kebijakan pembangunan berbeda sesuai dengan kondisi permasalahan dan potensi daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan nasional lebi banyak berfungsi sebagai untukmemberikan arah pembangunan secara menyeluruh (makro) sedangkan kebijakan pembangunan wilayah (regional) akan berfungsi untuk mendorong proses pembangunanpada daerah bersangkutan sesuai dengan kondisi, permasalahan dan potensi.



 B. Sasaran Kebijakan Wilayah
Menurut  pandangan Winnick (1966) dan kemudiandi lanjutkan oleh Richargson (1978) terdapat dua alternatif sasaran kebijakan wilayah yaitu:
  1. Kemakmuran Wilayah
Bertujuan untuk mewujudkan kondisi fisik daerah yang maju meliputi prasarana dan sarana, perumahan dan lingkungan pemukiman, kegiatan ekonomi masyarakat, fasilitas pelayanan sosial di bidang pendidikan dan kesehatan, kualitas lingkungan hidup dan lain-lainnya. Hal tersebut akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi daerah akan meningkat cepat, kegiatan penanaman modal meningkat pesat, dan mendorong peningkatan migrasi masuk dari daerah lain seiring bertambahnya lapangan kerja.

Namun demikian, kemajuan ini biasanya akan di nikmati oleh para pendatang yang kualitas sumber daya manusianya lebih baik dari penduduk setempat. Akibatnya akan terjadi ketimpangan distribus pendapatan yang cukup tinggi antara para pendatang dan dan penduduk setempat.
    2. Kemakmuran Masyarakat
Bilamana kemakmuran masyarakat merupakan sasaran utama pembangunan daerah,maka tekanan utama pembangunan akan lebih banyak diarahkan pada pembangunan penduduk setempat. Program dan kegiatan lebih banyak di arahkan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan kegiatan produksi masyarakat.

Bila upaya pembangunan wilayah lebih banyak di arahkan pada peningkatan kemakmuran masyarakat, maka laju pertumbuhan ekonomi dan peningkatan penyediaan lapangan kerja pada daerah bersangkutan cenderung bertumbuh lambat di bandingkan peningkatan kemakmuran wilayah. Hal ini di sebabkan, upaya pembangunan diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemberdayaan masyarakat yang biasanya memerlukan waktu yang lebih lama.
 C. Penetepan Wilayah Pembangunan
Penetapan Wilayah pembangunan ini perlu di lakukan agar pemberlakuan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut dapat ditentukan dengan jelas dan tegas dimana cakupan wilayahnya. Penetapan wilayah pembangunan dapat dilakukan dengan memperhatikan empat aspek utama yaitu :
  1. Kesamaan Kondisi, permasalahan dan potensi umum daerah baik di bidang ekonomi, sosial , dan geografi. Bila aspek ini di jadikan sebagai pertimbangan utama dalam pembentukan wilayah.
  2. Keterkaitan yang erat antara daerah-daerah yang tergabung dalam wilayah pembangunan bersangkutan. Keterkaitam ini dapat diketahui melalui data tentang kegiatan dagang antar daerah dan mobilitas penduduk (migration) antar daerah. Bila aspek ini dijadikan sebagai dasar utama pembentukan wilayah pembangunan tersebut, maka wilayah in dinamakan nodal region. Aspek ketrkaitan ini sangat penting artinya untuk kebijakan pembangunan wilayah yang ditetrapkan dapat mendorong terjadinya keterpaduan dan sinergi pembangunan antar daerah dalam wilayah yang bersangkutan.
  3. Kesamaan karakteristik geografis antar daerah yang tergabung dalam wilayah pembangunan tersebut. Karateristik geografis tersebut meliputi jenis daerah (pantai, pegunungan atau daerah aliran sungai), kesuburan dan kesesuaian lahan, dan potensi sumberdaya alam. Bila aspek ini dijadikan sebagai sumber aspek utama penetapan wilayah pembangunan maka wilayah tersebut dapat dinamakan sebagai wilayah fungsional. Aspek ini sangat penting dalam penetuan wilayah pembangunan.
  4. Kesatuan wilayah administrasi pemerintahan antara propinsi, kabupaten dan kota yang tergabung dalam wilayah pembangunan bersangkutan. Bila pertimbngan merupakan unsur utama yang melandasi pembentukan wilayah pembangunan tersebut, mka wilayah ini dinamakan sebagai wilayah perencanaan (planniang region).
 D. Bentuk Kebijakan Pembangunan Wilayah
  1. Kebijakan Fiskal Wilayah
Wilayah Kebijakan fiskal pada tingkat wilayah (region fiscal policy) dapat dilakukan dalam bidang pengaturan dan pengendalian penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah. Alasanya adalah jelas karena penerimaan dan belanja daerah akan langsung mempengaruhi kinerja pembangunan daerah tersebut. Pendapatan daerah dapat berbentuk PAD yang diperoleh dari pajak dan retribusi daerah berikut hasil bersih perusaan daerah, serta alokasi dana perimbangan dari pemerintah pusat. Sedangkan belanja daerah dapat berbentuk biaya aparatur, belanja publik dan belanja modal sebagaimana terlihat dalam anggaran APBD daerah bersangkutan.
Termasuk juga dalam belanja daerah ini adalah penggunaan dana dekonsentrasi dan dana pembantuan yang dialokasikan oleh pemerintah pusat kemasing-masing daerah melalui dinas dan instansi vertikal didaerah. Kebijakan fiskal wilayah menyangkut dengan pengeluaran yang dapat dilakukan dalam rangka mendorong proses pembangunan daerah dalam bentuk peningkatan proporsi dana APBD yang dialokasikan untuk belanja publik dan belanja modal. Kebijakan wilayah fiskal menyangkut dengan aspek belanja yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dalam bentuk peningkatan keterkaitan antara perencanaan dan anggaran. Dengan cara demikian pengalokasian dana dan dan belanja pembangunan akan dapat disesuaikan dengan prioritas yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan daerah. Kebijakan wilayah fiskal juga dapat dilakukan melalui kebijakan nasional dengan menggunakan dana alokasi khusus. Peranan ini dapat dilakukan melaui penentuan arah dan prioritasnya penggunakan DAK tersebut sesuai dengan kepentingan nasional. Biasanya prioritas penggunaan DAK diberikan pada kegiaan-kegiatan penanggulangan kemiskinan, pembangunan prasarana jalan yang tidak mampu dibiayai oleh APBD dan peningkatan kualitas hidup. Disamping itu, alokasi DAK juga diprioritaskan untuk peningkatan proses pembangunan pada daerah sedang berkembang dalam rangka mengurangi ketimpangan pembangunan.


 2. Kebijakan Moneter Wilayah
Kebijakan moneter ini lebih terbatas dari pada kebijakan fiskal. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya bersifat makro sehingga sulit untuk dibatasi pelaksanaannya pada wilayah tertentu. Namun demikian, masih terdapat beberapa kemungkinan pelaksanaanya kebijakan moneter wilayah untuk aspek tertentu, misalnya menyangkut dengan kebijakan pemberian kredit perbankan yang dibedakan untuk daerah-daerah yang sudah maju (developed regions) dengan daerah yang sedang berkembang (developing regions) Kebijakan pemberian kredit perbankan untuk daerah sedang berkembang dapat diberikan dalam bentuk prosedur dan jaminan yang lebih sederhana sehingga para pengusaha di daerah tesebut dapat memanfaatkan fasilitas kredit tersebut. Begitu juga keringanan modal ventura juga dapat juga digulirkan untuk menarik minat investor. Namun demikian kantor bank indonesia daerah setempat perlu selalu mengawasi agar fasilitas perbankan tersebut secara benar-benar digunakan dengan benar. Kebijakan moneter wilayah lainnya yang juga dapat dilakukan dalam bentuk pengembangan lembaga-lembaga non bank sebagai alternatif untuk penyediaan pembiayaan bagi pengembangan usaha ekonomi masyarakat.
 E. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Wilayah
Evaluasi pelaksanaan perlu dilakukan untuk dapat mengetahui seberapa jauh kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah dapat memberikan dampak positif sesuai dengan tujuan yang telah tetapkan semula. Disanping itu, melalui evaluasi ini dapat diketahui faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan maupun kegagalan pelaksanaan kebijakan regional tersebut. Sehingga dapat dirumuskan kebijakan tertentu yang perlu dilakukan dimasa mendatang. Evaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut dapat dilakukan secara komprehensif maupun secara parsial.



  1. Evaluasi Komprehensif
Evaluasi komprehensif paling sederhana yang dapat dilakukan dalam melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan pembangunan regional adalah dengan jalan membandingkan kondisi pembangunan sesudah kebijakan dilakukan dengan sebelumnya. Dengan cara demikian, tentunya kebijakan itu dapat dikatakan berhasil bila kinerja pembangunan dalam wilayah cakupan setelah kebijakan ditetapkan ternyata lebih baik dibandingkan dengan kondisi sebelum kebijakan diambil dengan asumsi tidak terjadi perubahan yang luar biasa dalam periode pelaksanaan kebijakan. Bilamana kebijakan tersebut merupakan bagian dari suatu perencanaan pembangunan regional, maka evaluasi keberhasilan pelaksaan kebijakan dapat dilakukan dengan dengan membandingkan realisasi kenerja pembangunan setelah kebijakan diterapkan dengan target pembangunan yang ditetapkan dalam rencana.
Namun demikian, cara penilaian keberhasilan pelaksanaa kebijakan pembangunan regional sebagaimana telah diuraikan diatas mempunyai kelemahan karena sistem tersebut tidak dapat memisahkan dampak yang juga dihasilkan oleh kebijakan yang bersifat nasional. Sebagaimana diketahui bahwa kemajuan pembangunan pada suatu daerah tidak hanya disebabkan oleh kebijakan pembagunan yang dilakukan oleh daerah bersangkutan saja, tetapi juga terjadi karena kebijakan pembangunan yang bersifat nasional dilakukan oleh pemerintah pusat. Karena itu untuk dapat mengevaluasi pengaruh kebijaksanaan pembangunan wilayah secara lebih baik, maka dampak pembangunan daerah sebagai hasil kebijakan nasional seharusnya dikeluarkan sehingga perhitungan menjadi lebih baik. Untuk keperluan tersebut maka, metode evaluasi dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
Langkah pertama perlu diketahui lebih dahulu adalah menghitung besarnya dampak pembangunan ekonomi atau tambahan penyediaan lapanghan kerja yang dapat dicapai sebagai hasil kebijakan nasional tanpa adanya kebijakan regional sebagai berikut:
n n Ni = Σ ni = Σ [eit (Eit/Eio)] i=1 i=1

dimana eit adalahjumlah tenaga kerja atau nilai tambah (PDRB) region i pada periode waktu t dan Eit jumlah tenaga kerja atau nilai tambah tingkat nasional pada periode waktu t dan Eio adalah nilai tambah tingkat nasional pada tahun dasar. Dengan demikian, besarnya dampak dari kebijakan nasional terhadap pembangunan daerah akan dapat diketahui dengan jalan mengalihkan jumlah tenaga kerja atau PDRB daerah bersangkutan dengan peningkatan penyediaan lapangan kerja dan PDB pada tingkat nasional.
 Langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah menghitung besarnya dampak yang dihasilkan oleh kebijakan regional sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan mencari selisih antar jumlah penyediaan lapangan kerja atau PDRB daerah bersangkutan pada periode tertentu dengan besarnya pengaruh dari kebijakn nasional sebagaimana ditunjukan oleh persamaan diatas. Dengan demikian, besarnya pengaruh dari kebijakan regional akan dapt diketahui melalui persamaan berikut :
n n R= A-N = Σei – Σ ni i=1 i=1
Agar perhitungan menjadi lebih tepat, maka hal yang perlu ditentukan secara khusus disini adalh periode berlaku dan berakhirnya kebijakan nasional tersebut. Penilaian keberhasilan pelaksaan kebijakan pembangunan regional dapt pula dilakukan melaui mobilitas investasi yang masuk ke daerah bersangkutan. Hal ini dilakukan karena keberhasilan kebijakn pembangunan suatu daerah tersebut dapt pula ditunjukan oleh keberhasilan dalam menarik industri dan kegiatan ekonomi lannya dari luar daerah maupun luar negeri untuk masuk kesuatu daerah. Bila jumlah investasi yang masuk besarmaka unsur-unsur pembangunan daerah separti pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat akan dapt pula ditingkatkan. Berdasarkan pandangan tersebut, maka mobiltas industri dan kegiatan ekonomi daerah dapat diukur dalam bentuk arus investasi sehingga dapat ditulis sebagai berikut :
 M= f (I)
Dimana M adalah mobilitas industri sedang I investasi dalam RP atau dolar. Bila unsur kebijakan pembangunan daerah (Rp) juga ikut dipertimbngkan maka fungsi mobolitas terdahulu akan dapat pula dapat ditulis :
I= f (A,RP)
Dimana A melambangkan data tarik daerah dan RP adalh kebijakan pembangunan regional yang dilakukan pada daerah tersebut. Bila pengukuran dilakukan metode regresi maka persamaan diatas dapat dirubah menjadi:
I =σ+ßA +δ (RP)+ε
Dimana σ, ß dan δ adalah koefisien regresi dan ε adalah faktor kesalahan (distrubance terms). Menginagat RP adalah fariabel kebijakan regional yang juga dapat diwakili oleh jumlah anggaran daerah yang dialokasikan untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, maka keberhasilan kebijakan pembangunan regional dapat diukur dari besarnya koefesien regresi δ yang seharusnya mempunyai nilai positif.
    2. Evaluasi Parsial
                    Evaluasi pelaksanaan kebijakan wilayah secara parsial dilakukan dengan melihat keberhasilan pelaksanaan pembangunan pada tingkat program atau proyek (kegiatan). Evaluasi ini dikatakan parsial karena hanya melihat kepada sebagian dari kegiatan pembangunan daerah yang belum tenttu menggambarkan kondisi pembangunan daerah secara keseluruhan. Karena itu, untuk mendapatkangambaran menyeluruh dari keberhasilan pelaksanaan kebijakan pembangunan regional perlu dilakukan penilaian terhadap sejumlah program dan proyek utama yang berskala besar dan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pembangunan daerah bersangkutan.
                    Karena penilaian dilakukan pada tingkat program dan proyek, maka dalam hal ini terdapat tigajenis teknik evaluasi yang digunakan, yaitu:
     a. Teknik Evaluasi Kinerja
Teknik ini menilai pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan berdasarkan lima kriteria, yaitu masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome),manfaat (benefit) dan dampak (impacts). Penilaian terhadap unsur masukan (input) terutama diarahakan pada tingkat penggunaan dan penyerapan dana yang telah dapat dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan program dan kegiatan bersangkutan. Sedangkan penilaianterhadap keluaran (output) diarahakan pada hasil langsung dari kegiatan pelaksanaan program dan proyek, baik bersifat fisik maupunnonfisik. Penilaian terhadap hasil (outcome) ditekankan pada hasil yang dapat diberikan terhadap pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan penilaian terhadap manfaat (benefit) adalah dalam bentuk kegunaan dari adanya program dan kegiatan pembangunan. Penilaian terhadap dampak (impacts) adalah dalam bentuk pengaruh yang dapat dihasilkan dgn adanya program dan kegiatan tersebut terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat

    b. Analisis Biaya dan Manfaat
Analisis biaya dan manfaat yang digunakan pada dasarnya adalah sama dengan yang lazim dipakai pada penilaian kelayakan. Perbedaannya adalah bahwa bahwa pada evaluasi ini, data tentang biaya dan manfaat yang digunakan adalah data realisasi karena program dan proyek sudah selesai digunakan sebelumnya. Dengan demikian, pelaksanaan sebuah program atau proyek dapat dikatakan berhasil bilamana kegiatan tersebut dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.
Seandainya  adalah nilai investasi proyek yang dilakukan pada tahu t,  adalah biaya operasiaonal yang dikeluarkan dalam pengelolaan proyek untuk setiap tahunnya dan Bt adalah manffast yang dapat dihasilkan dari pelaksanaan proyek, maka evaluasi keberhasilan pelaksanaan suat kebijakan pembangunan regional dapat dilakukan menggunakan kriteria berikut:
  1. Benefit-Cost Ratio: []  :  [)/(1+i], dan kebijakan dikatakan berhasil jika B/C rasio lebih besar atau sama dengan 1
  2. Net present Value (NPV): ] dan kebijakan dikatan berhasil jika NPV>0
  3. Internal rate of return (IRR) yaitu r pada saat NPV sama 0 dan kebijakan dikatakan berhasil jika IRR>I, dimana I adalah tingkat bunga deposito bank.
Dimana B adalah manfaat (benefit), C adalah biaya (cost) i tingkat bunga (discount rate), IRR ( intenal rate of return) dan t adalah waktu.
Kendala yang sering dihadapi adalahseringkali program dan proyek yang berorientasi pada kepentingan publik seperti pembangunan jalan, gedung sekolah, dan fasilitas publik lainnya adalah bahwa perhitungan nilai manfaat yang dapat di peroleh sering sering kali bersifat kualitatif dan abstrak karena menyangkut dengan kepentingan sosial ekonomi. Untuk itu, metode evaluasi dapat di ubah menjadi Cost Effectiveness dimana evaluasi tidak lagi didasarkan pada perbandingan biaya dan manfaat, tetapi hanya pada perbandingan jumlah biaya yang diperlukan.
    c. Kerangka Logis
Pada kerangka logis ini, evaluasi dilakukan secara sederhana dengan menggunakan sebuah matrik. Pada matrik ini dijelaskan latar belakang pelaksanaan kegiatan, tujuan, deskriptsi program dan kegiatan, tolak ukur keberhasilan yang digunakan dan  manfaat yang diharapkan dari hasil pelaksanaan program dan kegiatan tersebut. Dapat pula menggunakan Persentase atau hanya secara kualitatif saja dengan memperhatikan kondisi yang berkembang di lapangan jika indikator dan ukuran kuantitatif sulit di peroleh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar