Minggu, 26 April 2015

Pertumbuhan Ekonomi selama orde baru hingga saat ini

Presiden pada masanya

Era Orde Lama berlalu digantikan Orde Baru. Ibarat lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Demikian juga terjadi dalam dunia pemerintahan negara Indonesia. Orde Baru, yang dimotori oleh Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia kedua, muncul dengan slogan barunya: “bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen”. Kalimat sakti mandraguna tersebut telah berhasil menyihir seluruh lapisan masyarakat yang rindu dengan pemerintahan yang benar-benar berdasarkan konstitusi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila tidak hanya dalam kehidupan bermasyarkat tetapi juga dalam sistim pemerintahan negara. Setidaknya, melalui sosialisasi jargon Orde Baru tersebut, rekatan persatuan dan kesatuan antar elemen masyarakat yang terdiri dari ratusan suku bangsa dapat lebih kuat sehingga mengurangi hayalan disintegrasi bangsa untuk sementara waktu.
Langkah pemerintahan Soeharto yang fokus kepada usaha pemenuhan kebutuhan pokok rakyat melalui program-program pembangunan lima tahunan, telah secara signifikan meningkatkan integrasi nasional yang semakin hari semakin kuat di antara sesama anak bangsa. Program asimiliasi dan perkawinan campuran antar suku dan etnis, termasuk di kalangan Tionghoa, telah membuka sekat-sekat perbedaan di antara berbagai komponen bangsa untuk bersatu, yang pada gilirannya dapat mempertinggi ketahanan nasional negara Indonesia. Program transmigrasi yang diperkirakan telah membaurkan puluhan juta penduduk etnis Jawa-Madura-Bali ke hampir semua komunitas di seantero nusantara juga menjadi salah satu kunci keberhasilan kepemimpinan nasional di bawah kendali Soeharto dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka peningkatan ketahanan nasional.
Dalam mengatasi pergolakan bernuansa disitengrasi, pemerintahan Orde Baru lebih mengedepankan gaya militer-otoriteristik melalui berbagai strategi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Bahkan untuk membasmi tindak kriminalitas dan premanisme, pimpinan nasional saat itu menerapkan pola penghilangan paksa ala militer melalui satuan khusus bawah tanah, petrus (penembak misterius) yang menghasilkan matius (mati misterius). Keberadaan Kopkamtib (Komando Operasional Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan Kantor Sosial Politik di daerah-daerah menjadi alat “pengamanan” yang difungsikan tidak hanya sebagai strategi preventif-represif tapi juga sebagai komponen petugas penindakan dan recovery terhadap tindakan yang mengarah kepada pengancaman ketahanan nasional. Di masa Orde Baru, tingkat stabilitas ketahanan nasional dikategorikan sangat mantap. Orde Baru harus berakhir, digantikan dengan Orde Reformasi sejak 1998 dan masih berjalan hingga saat ini. Pada kurun waktu 13 tahun masa Reformasi ini, telah muncul silih berganti 4 presiden di republik ini, Baharuddin Jusuf Habibi, Abdul Rahman Wahid, Megawati Soekarnoputra, dan Susilo Bambang Yudhonono. Dalam kaitannya dengan ketahanan nasional, buah pahit era Orde Reformasi berupa lepasnya Provinsi Ke-27 Timor Timur (yang salah satu gubernurnya Abilio Soares adalah alumnus Lemhannas) dan berpindahnya dua pulau, Sipadan dan Ligitan ke wilayah kekuasaan negara Malaysia, dapat dijadikan cerminan awal lemahnya kepemiminan nasional Indonesia di era ini. Pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan bersama adalah masihkan kita dapat mengharapkan kepemimpinan nasional saat ini mampu meningkatkan dan mempertahankan ketahanan nasional dalam kaitannya dengan penjagaan keutuhan NKRI? Dengan kata lain, bagaimanakah efektivitas kepemimpinan nasional di era reformasi terhadap peningkatan ketahanan nasional? Persoalan utama ini tentunya amat menarik untuk dijadikan bahan kajian dan analisis dalam rangka menginspirasi setiap anak bangsa, teristimewa para pemimpin nasional, dalam mencari formula kepemimpinan nasional yang baik, efektif dan efisien di masa mendatang. Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
  • Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
  • Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.

Keadaan beberapa aspek-aspek pemerintahan asa sekarang

Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Pada masa Reformasi ini proses pembangunan nasional memang sudah  demokratis dan sudah memerankan fungsi pemerintah daerah dalam menjalankan pasipartisi rakyat daerahnya. Dengan peluang otonomi daerah telah memberikan sumbangsi yang besar terhadap proses percepatan pembangunan nasional dan juga menjaminnya sistem demokrasi yang merakyat.

Kesimpulan

Proses pembangunan nasional merupakan suatu kegiatan yang terus menerus dan menyeluruh dilakukan mulai dari penyusunan suatu rencana, penyususnan pogram, kegiatan pogram, pengawasan sampai pada pogram terselesaikan.
Dari penjelasan diatas sebagai arah perjalanan pembangunan Indonesia, arah tersebut  telah menciptakan berbagai pembaharuan-pembaharuan untuk terus menuju ke kesejahteraan rakyat. Catatan-catatan diatas ini tidak lain dimaksudkan agar setiap tindakan pembangunan secara langsung atau tidak lansung dilaksanakan demi meningkatkan kecerdasan dan kemakmuran rakyat banyak. Khususnya dalam meningkatkan perekonomian Indonesia yang lebih baik.
Sistem kebijakan pembangunan di Negara Indonesia sudah menunjukkan perbaikan ke arah yang lebih demokratis ada pasca Reformasi. Paling tidak ada masa reformasi ini, semua proses pembangunan baik pusat maupun daerah dituntut supaya harus melibatkan publik dalam proses perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya.
Artinya partisipasi aktif masyarakat sipil sangat diperlukan dalam proses pembangunan negara baik di tingkat pusat maupun daerah provinsi, kabupaten/kota, distrik dan kampung. Hal ini menuntut kesadaran dan semangat masyarakat sipil seutuhnya sebagai warga negara dan bangsa Indonesia yang turut bertanggung jawab dalam proses pembangunan.
Dari Orde Lama hingga era Reformasi pembangunan Indonesia terus menciptakan suasana yang kondusif, damai, aman, dan sejahtera. Dari segi birokrasi perubahan periode ke periode selanjutnya semakin menonjol peran masyarakat dalam pembangunan republik ini.

Kritik & Saran

Pergolakan pembangunan Indonesia telah menciptakan urgensi-urgensi kehidupan yang mendera perekonomian Indonesia, bahkan berbagai persoalan konflik elit politik terjadi belum bias terealisasikan sampai saat ini. Persoalan-persoalan ini terjadi tentu berdampak besar pada proses perencanaan pembangunan kearah yang lebih baik, namun pada penulisan ini perlu disampaikan bahwa taraf perekonomian Indonesia masih jauh dari yang kita harapkan, warisan hutang luar negeri masih harus dibayar.
Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus mampu dan terus bersaing dalam mewujudkan Indonesia bebas dari kemiskinan, harga diri bangsa Indonesia adalah mencintai dan menjaga aset Negara untuk dijadikan simpanan buat anak cucu kelak. Dalam proses pembangunan bangsa ini harus bisa menyatukan pendapat demi kesejahteraan masyarakat umumnya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar