Presiden pada masanya
Era Orde Lama berlalu digantikan Orde Baru. Ibarat lain padang
lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Demikian juga terjadi dalam dunia
pemerintahan negara Indonesia. Orde Baru, yang dimotori oleh Jenderal Soeharto
yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia kedua, muncul dengan slogan
barunya: “bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekwen”. Kalimat sakti mandraguna tersebut telah berhasil menyihir seluruh
lapisan masyarakat yang rindu dengan pemerintahan yang benar-benar berdasarkan
konstitusi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila tidak hanya dalam
kehidupan bermasyarkat tetapi juga dalam sistim pemerintahan negara.
Setidaknya, melalui sosialisasi jargon Orde Baru tersebut, rekatan persatuan
dan kesatuan antar elemen masyarakat yang terdiri dari ratusan suku bangsa
dapat lebih kuat sehingga mengurangi hayalan disintegrasi bangsa untuk
sementara waktu.
Langkah pemerintahan Soeharto yang fokus kepada usaha pemenuhan kebutuhan
pokok rakyat melalui program-program pembangunan lima tahunan, telah secara
signifikan meningkatkan integrasi nasional yang semakin hari semakin kuat di
antara sesama anak bangsa. Program asimiliasi dan perkawinan campuran antar
suku dan etnis, termasuk di kalangan Tionghoa, telah membuka sekat-sekat
perbedaan di antara berbagai komponen bangsa untuk bersatu, yang pada
gilirannya dapat mempertinggi ketahanan nasional negara Indonesia. Program
transmigrasi yang diperkirakan telah membaurkan puluhan juta penduduk etnis
Jawa-Madura-Bali ke hampir semua komunitas di seantero nusantara juga menjadi
salah satu kunci keberhasilan kepemimpinan nasional di bawah kendali Soeharto
dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka peningkatan
ketahanan nasional.
Dalam
mengatasi pergolakan bernuansa disitengrasi, pemerintahan Orde Baru lebih
mengedepankan gaya militer-otoriteristik melalui berbagai strategi yang
disesuaikan dengan kondisi lapangan. Bahkan untuk membasmi tindak kriminalitas
dan premanisme, pimpinan nasional saat itu menerapkan pola penghilangan paksa
ala militer melalui satuan khusus bawah tanah, petrus (penembak misterius) yang
menghasilkan matius (mati misterius). Keberadaan Kopkamtib (Komando Operasional
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan Kantor Sosial Politik di daerah-daerah
menjadi alat “pengamanan” yang difungsikan tidak hanya sebagai strategi
preventif-represif tapi juga sebagai komponen petugas penindakan dan recovery
terhadap tindakan yang mengarah kepada pengancaman ketahanan nasional. Di masa
Orde Baru, tingkat stabilitas ketahanan nasional dikategorikan sangat mantap.
Orde Baru harus berakhir, digantikan dengan Orde Reformasi sejak 1998 dan masih
berjalan hingga saat ini. Pada kurun waktu 13 tahun masa Reformasi ini, telah
muncul silih berganti 4 presiden di republik ini, Baharuddin
Jusuf Habibi, Abdul Rahman Wahid, Megawati Soekarnoputra, dan Susilo Bambang
Yudhonono. Dalam kaitannya dengan ketahanan nasional, buah pahit era Orde
Reformasi berupa lepasnya Provinsi Ke-27 Timor Timur (yang salah satu
gubernurnya Abilio Soares adalah alumnus Lemhannas) dan berpindahnya dua pulau,
Sipadan dan Ligitan ke wilayah kekuasaan negara Malaysia, dapat dijadikan
cerminan awal lemahnya kepemiminan nasional Indonesia di era ini. Pertanyaan
mendasar yang perlu direnungkan bersama adalah masihkan kita dapat mengharapkan
kepemimpinan nasional saat ini mampu meningkatkan dan mempertahankan ketahanan
nasional dalam kaitannya dengan penjagaan keutuhan NKRI? Dengan kata lain,
bagaimanakah efektivitas kepemimpinan nasional di era reformasi terhadap
peningkatan ketahanan nasional? Persoalan utama ini tentunya amat menarik untuk
dijadikan bahan kajian dan analisis dalam rangka menginspirasi setiap anak
bangsa, teristimewa para pemimpin nasional, dalam mencari formula kepemimpinan
nasional yang baik, efektif dan efisien di masa mendatang. Pada masa krisis
ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian disusul
dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa
ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga
kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun,
terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan
presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan
presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara
lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja
BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden
terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata
masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk
dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan
yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
- Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada
pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri
sebesar Rp 116.3 triliun.
- Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan
negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara
dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara.
Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN
yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi.
Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk
menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Keadaan beberapa aspek-aspek
pemerintahan asa sekarang
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan
kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin.
Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan
berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan
perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki
iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure
Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh
sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan
Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam
negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat,
setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan
miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan
Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena
pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih
suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas
pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental,
sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena
inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri
masih kurang kondusif.
Pada masa Reformasi ini proses pembangunan nasional memang
sudah demokratis dan sudah memerankan fungsi pemerintah daerah dalam
menjalankan pasipartisi rakyat daerahnya. Dengan peluang otonomi daerah telah
memberikan sumbangsi yang besar terhadap proses percepatan pembangunan nasional
dan juga menjaminnya sistem demokrasi yang merakyat.
Kesimpulan
Proses pembangunan nasional merupakan suatu kegiatan yang terus
menerus dan menyeluruh dilakukan mulai dari penyusunan suatu rencana,
penyususnan pogram, kegiatan pogram, pengawasan sampai pada pogram
terselesaikan.
Dari penjelasan diatas sebagai arah perjalanan pembangunan
Indonesia, arah tersebut telah menciptakan berbagai
pembaharuan-pembaharuan untuk terus menuju ke kesejahteraan rakyat.
Catatan-catatan diatas ini tidak lain dimaksudkan agar setiap tindakan
pembangunan secara langsung atau tidak lansung dilaksanakan demi meningkatkan
kecerdasan dan kemakmuran rakyat banyak. Khususnya dalam meningkatkan
perekonomian Indonesia yang lebih baik.
Sistem kebijakan pembangunan di Negara Indonesia sudah menunjukkan
perbaikan ke arah yang lebih demokratis ada pasca Reformasi. Paling tidak ada
masa reformasi ini, semua proses pembangunan baik pusat maupun daerah dituntut
supaya harus melibatkan publik dalam proses perencanaan, pelaksanaan hingga
pengawasannya.
Artinya partisipasi aktif masyarakat sipil sangat diperlukan dalam
proses pembangunan negara baik di tingkat pusat maupun daerah provinsi,
kabupaten/kota, distrik dan kampung. Hal ini menuntut kesadaran dan semangat
masyarakat sipil seutuhnya sebagai warga negara dan bangsa Indonesia yang turut
bertanggung jawab dalam proses pembangunan.
Dari Orde Lama hingga era Reformasi pembangunan Indonesia terus
menciptakan suasana yang kondusif, damai, aman, dan sejahtera. Dari segi
birokrasi perubahan periode ke periode selanjutnya semakin menonjol peran
masyarakat dalam pembangunan republik ini.
Kritik
& Saran
Pergolakan pembangunan Indonesia telah menciptakan urgensi-urgensi
kehidupan yang mendera perekonomian Indonesia, bahkan berbagai persoalan
konflik elit politik terjadi belum bias terealisasikan sampai saat ini.
Persoalan-persoalan ini terjadi tentu berdampak besar pada proses perencanaan
pembangunan kearah yang lebih baik, namun pada penulisan ini perlu disampaikan
bahwa taraf perekonomian Indonesia masih jauh dari yang kita harapkan, warisan
hutang luar negeri masih harus dibayar.
Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus mampu dan
terus bersaing dalam mewujudkan Indonesia bebas dari kemiskinan, harga diri
bangsa Indonesia adalah mencintai dan menjaga aset Negara untuk dijadikan
simpanan buat anak cucu kelak. Dalam proses pembangunan bangsa ini harus bisa
menyatukan pendapat demi kesejahteraan masyarakat umumnya
https://widyasagala.wordpress.com/2014/04/29/perkembangan-indonesia-mulai-orde-baru-hingga-sekarang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar