Kamis, 29 Januari 2015

Pejalan Kaki dan Masalah Infrastruktur di Jakarta

 Ryan Filbert
                                                @RyanFilbert

KOMPAS.com - Sebagai orang yang kini tinggal di daerah pinggiran Jakarta, saya membutuhkan sebuah strategi khusus untuk membuat jadwal pertemuan dan rapat di area Jakarta Pusat bisa on time.

Kalau sudah seharian meeting di area jalan protokol, saya akan mengoptimalkan jadwal rapat agar keesokan harinya saya tidak perlu mengulang rute tersebut. Terasa sekali pengorbanan para karyawan dan pekerja yang semakin hari semakin sulit mengakses area jalan protokol, dengan diberlakukannya peraturan bahwa motor tidak boleh mengakses area jalan MH Thamrin. Hal ini akan menambah level kesulitan yang baru, dan bagi pengendara kendaraan pribadi roda empat, pelaksanaan 3 in 1 tentunya juga membuat hambatan dalam beraktivitas.

Saya adalah orang yang sangat setuju dengan perombakan fasilitas umum secara agresif, karena memang transportasi massal adalah salah satu jawaban darikepadatanpendudukkota Jakarta ini.
Belajar dari kota-kota besar lain seperti Singapura dan Hong Kong, transportasi umum tetap menjadi alat transportasi utama hampir semua golongan. 

Saya bahkan mengenal beberapa orang yang mampu membeli kendaraan di Singapura, tapi tetap memilih menggunakan transportasi umum. Di Indonesia, penggunaan transportasi umum dan mengakses sebuah area menggunakan kaki (berjalan kaki) terkesan kurang bergengsi.

Untunglah, beberapa tahun terakhir ini, bersepeda menjadi sebuah kegiatan yang terlihat kembali naik pangkat, padahal di era-era sebelumnya hal ini sempat ditinggalkan.

Bicara mengenai berjalan kaki sebagai metode termurah, rupanya ini juga memberikan banyak manfaat bagi badan, dimulai dari membentuk kaki dan bahu, selain itu juga bisa mengurangi beraneka penyakit. Silakan Anda cari lebih banyak literasi mengenai hal tersebut.

Beberapa kali, karena sedang diberlakukan 3 in 1, saya memarkir kendaraan agak jauh dari jalan protokol dan sengaja berjalan kaki. Saya juga lebih memilih menggunakan transportasi umum, karena parkir di jalan protokol biayanya amat mahal, apalagi di mal, belum lagi ditambah dengan layanan valet parking-nya.

Namun dari beberapa pengalaman tersebut, apa yang saya dapati adalah jalanan yang tidak bersahabat bagi pejalan kaki, mulai dari trotoar yang sempit, trotoar yang digunakan sebagai tempat berdagang kaki lima, trotoar digunakan sebagai lahan parkir motor, serta yang lebih mengesalkan, ada beberapa gedung yang terkesan merendahkan pejalan kaki. Ini terlihat dari pelataran depan gedung di jalan protokol tersebut yang tidak memberikan akses bagi pejalan kaki untukmasuk. Pejalan kaki diwajibkan memutar, cukup jauh.

Dalam beberapa kebudayaan, pintu belakang sebagai akses dapat diartikan sebagai pintu untuk pelayan atau pegawai rendahan.Hal ini menurut saya sangat menyedihkan.

Saya kira itulah salah satu alasan mengapa di Indonesia, khususnya di daerah perkotaanseperti Jakarta, budaya berjalan kaki hanya bisa dilakukan sebagai sebuah kegiatan akhir pekan saja. Karena bila dijadikan budaya sehari-hari, perlakuan terhadap orang yang berjalan kaki terkesan tidak membuat nyaman.Bahkan, fasilitas penyeberangan pun tidak selalu tersedia, dan belum lagi masalah keamanan yang hingga kini masih menghantui orang banyak untuk berjalan kaki dan menggunakan kendaraan umum.

Bagaimana tidak takut, begitu masuk kendaraan umum, belum lama Anda duduk, tiba-tiba ada beberapa orang bertato masuk dan mulai berpidato di depan. "Bapak dan Ibu, saya baru saja keluar dari penjara. Sekiranya….” 

Ya, negara kita memang sedang membangun, dan setidaknya kita perlu yakin bahwa apa yang dibangun nantinya akan memberikan manfaat bagi semua orang dan menjadikan Indonesia lebih baik. Namun, masalahnya bukanhanya terletak pada tersedianya transportasi massal, tapi juga perlunya keyakinan bahwa ada rasa aman saat menggunakannya, serta kemudahan untuk mengakses transportasi tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar